Senin, 12 Maret 2012

Budaya Jawa



Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung dan mahal.
Akar kebudayaan Indonesia adalah suatu mekanisme yang terbentuk dari unsur-unsur yang berkaitan dengan zaman prasejarah,jadi ibarat pohon,pohon tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya akar,demikian pula dengan kebudayaan pada suatu Negara tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya akar atau pendahulu yang membentuk kebudayaan tersebut. Akar kebudayaan Indonesia berhubungan dengan zaman prasejarah, mulai dari nenek moyang kita yang membawa kebudayaan Dongson, setelah itu diikuti oleh perkembangan Islam di Indonesia. Jadi islam juga merupakan salah satu akar kebudayaan Indonesia.
Akar budaya lama jadi layu dan terlupakan, meskipun ada diantaranya tanpa kita sadari masih berada terlena di bawah sadar kita. Bangkitnya feodalisme di Indonesia dengan lahirnya berbagai kerajaan besar dan kecil telah mengubah hubungan antara kekuasaan dan manusia atau anggota masyarakat. Penjajahan Belanda menggunakan sistem menguasai dan memerintah melalui kelas bangsawan atau feodal lama Indonesia telah meneruskan tradisi feodal berlangsung terus dalam masyarakat kita. Malahan setelah Indonesia merdeka, hubungan-hubungan diwarnai nilai-nilai feodalisme masih berlangsung terus, hingga sering kita mengatakan bahwa kita kini menghadapi neo-feodalisme dalam bentuk-bentuk baru.
Semua pendidikan modern, falsafah Barat dan Timur, ideologi-ideologi yang datang dari Barat mengenai manusia dan masyarakat. Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkritisme manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa banyak konflik dalam jiwa dan diri kita.
Sesuatu terjadi dalam diri kita, hingga secara budaya tidak mampu memisahkan yang satu dari yang lain: mana yang takhyul, mana yang ilmiah, mana yang bayangan, mana yang kenyataan, mana yang mimpi dan mana dunia nyata. Malahan banyak orang kini membuat ilmu dan teknologi jadi takhyul dalam arti, orang percaya bahwa ilmu dan teknologi dapat menyelesaikan semua masalah manusia di dunia. Dan ada yang berbuat sebaliknya. Kita jadi tidak tajam lagi membedakan mana yang batil dan mana yang halal. Karena itu beramai-ramai dan penuh kebahagiaan kita melakukan korupsi besar-besaran, dan tidak merasa bersalah sama sekali (Lubis, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia semakin berkembang pesat. Hal ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya rakyat Indonesia yang bergaya hidup kebarat-baratan seperti mabuk-mabukkan,clubbing,memakai pakaian mini,bahkan berciuman di tempat umum seperti sudah lumrah di Indonesia. Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif. Proses filtrasi perlu dilakukan sedini mungkin supaya kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia tidak akan merusak identitas kebudayaan nasional bangsa kita. Tetapi bukan berarti kita harus menutup pintu akses bangsa barat yang ingin masuk ke Indonesia, karena tidak semua kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia berpengaruh negatif, tetapi juga ada yang memberi pengaruh positif seperti memajukan perkembangan IPTEK di Indonesia. Prioritas yang perlu kita lakukan terhadap kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia adalah kita harus lebih selektif kepada kebudayaan barat.
Keberadaan Keraton Kesunanan Surakarta Hadiningrat atau yang lebih popular disebut Keraton Solo ternyata memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai tempat wisata pendidikan serta cagar budaya Solo.  Namun dari upaya untuk mengembangkan dan melestarikan peninggalan budaya Keraton Solo ini ternyata masih terbentur soal dana.
Bahkan untuk melestarikan budaya Keraton Solo ini, Putera ke 17 dari Paku Buwono XII ini mulai mengaktifkan kembali tradisi budaya jaga yang dilakukan oleh prajurit keraton atau abdidalem.  Ada sekitar 650 abdidalem keraton yang akan bertugas menjaga sekeliling keraton dengan berpakaian seragam lengkap yang dilengkapi senjata berupa tombak. Tapi, senjata di sini sifatnya hanya sebagai pelengkap saja.
Grebeg berasal dari bahasa Jawa sendiri berasal dari kata gembrebeg atau gumerebeg, dalam bahasa Jawa yang artinya sergap, bisa juga bermakna kegaduhan kalau dari asal kata gumerebeg. Karena dalam upacara grebeg tersebut selalu diakhiri dengan kegaduhan saat berlangsungnya rebutan gunungan yang dilakukan masyarakat, baik itu aktifitas saling dorong maupun teriakan dan suara tawa yang selalu mengiringi puncak upacara tersebut.
Tradisi saling berebut dimaksudkan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, melalui simbol-simbol yang diwujudkan dari aneka hasil bumi dan makanan yang menghiasi kedua gunungan. Sebuah prosesi yang sangat ditunggu oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah termasuk warga sekitar Kraton. Meskipun menurut beberapa abdi dalem terlihat peminatnya terus menurun dibandingkan beberapa upacara tahun-tahun sebelumnya.
Prosesi upacara grebeg Syawal dimulai dengan mengarak kedua gunungan dari dalam Kraton yang dikawal oleh prajurit dengan persenjataan pedang, tombak dan panah serta diawali oleh barisan musik drum band Kraton dengan komandannya yang meniup terompet untuk membuka jalannya kirab menuju Masjid Ageng melewati Siti Hinggil dan alun-alun utara.
            Setelah memasuki halaman Masjid Ageng Solo, kemudian kedua gunungan di bawa masuk ke area dalam di beranda Masjid. Dan dengan dipimpin ulama Kraton Solo, doa-doa dipanjatkan sebagai ucap syukur serta memohon keselamatan serta berkah dari Tuhan untuk Sultan Pakoe Boewono XIII dan seluruh rakyatnya, atau secara umum untuk masyarakat Solo Raya.
Setelah upacara doa bersama tersebut, kedua gunungan di bawa keluar menuju halaman depan Masjid untuk diperebutkan masyarakat yang sudah menunggu sejak pagi. Untuk gunungan yang diperebutkan di halaman Masjid adalah gunungan Jaler, sedangkan gunungan Estri di arak kembali menuju Kamandungan (halaman depan Kraton) dan akan diperebutkan oleh masyarakat yang sudah menunggu disana.
Tradisi grebeg Syawal memberikan kenangan akan kemeriahan lebaran di Kraton Solo. Selain sebagai tontonan,  yang juga bisa ditangkap meskipun dengan beberapa pandangan yang berbeda-beda, adalah adanya tatanan serta tuntunan yang masih terus dijaga dan dilestarikan sebagai warisan budaya dengan nilai sejarah atas keberadaannya.
Kraton Kasunanan Surakarta tetap akan terus mengucap syukur setiap tahun disaat lebaran tiba, dan memohon berkah serta keselamatan untuk semua. Dan gununganpun akan selalu menunggu, seberapa banyak lagi masyarakat yang masih merindukan kegaduhan dan mengharapkan berkah yang melimpah dengan rela saling berdesakan diterpa teriknya panas saat lebaran tiba berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA

silahkan download makalahnya disini :::







0 komentar: