Secara substantif
pengertian HaKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau
lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya-karya intelektual tersebut
dibidang ilmu pengetahuan, seni, sastra ataupun teknologi, dilahirkan dengan
pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut
menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah
dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat
menumbuhkan konsepsi kekayaan (Property) terhadap karya-karya intelektual. Bagi
dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai assets perusahaan.
Tumbuhnya konsepsi
kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan untuk
melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan
ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk
pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokan
sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan HaKI sebagai
hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara lugas dalam
tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan hal baru di
Indonesia. Dari sudut pandang HaKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya
sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan
rasa aman, tetapi juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat
atau gairah untuk menghasilkan karya-karya inovatif, inventif dan produktif.
Kalau dilihat secara
historis, undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang
menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg
tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan
mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut
kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan
kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of
Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun
1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883
dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain.
Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta.
Tujuan dari
konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru,
tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak.
Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United
International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian
dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO
kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani masalah
HaKI anggota PBB.
Sebagai tambahan pada
tahun 2001 World Intellectual Property Organization (WIPO) telah menetapkan
tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia. Setiap tahun,
negara-negara anggota WIPO termasuk Indonesia menyelenggarakan beragam kegiatan
dalam rangka memeriahkan Hari HKI Sedunia.
Sejak ditandatanganinya
persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (GATT) pada tanggal 15 April
1994 di Marrakesh-Maroko, Indonesia sebagai salah satu negara yang telah
sepakat untuk melaksanakan persetujuan tersebut dengan seluruh lampirannya
melalui Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Lampiran yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) adalah
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP’s) yang merupakan
jaminan bagi keberhasilan diselenggarakannya hubungan perdagangan antar Negara
secara jujur dan adil, karena :
- TRIP’s menitik beratkan kepada
norma dan standard
- Sifat persetujuan dalam TRIP’s
adalah Full Complience atau ketaatan yang bersifat memaksa tanpa
reservation
- TRIP’s memuat ketentuan penegakan
hukum yang sangat ketat dengan mekanisme penyelesaian sengketa diikuti
dengan sanksi yangbersifat retributif.
Tumbuhnya konsepsi
kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan untuk
melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan
ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk
pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokan
sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan HaKI sebagai
hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara lugas dalam
tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan hal baru di
Indonesia. Dari sudut pandang HaKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya
sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan
rasa aman, tetapi juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat
atau gairah untuk menghasilkan karya-karya inovatif,inventif dan produktif. Jika
dilihat dari latar belakang historis mengenai HaKI terlihat bahwa di negara
barat (western) penghargaan atas kekayaan intelektual atau apapun hasil olah
pikir individu sudah sangat lama diterapkan dalam budaya mereka yang kemudian
ditejemahkan dalam perundang-undangan.
HaKI bagi masyarakat
barat bukanlah sekedar perangkat hukum yang digunakan hanya untuk perlindungan
terhadap hasil karya intelektual seseorang akan tetapi dipakai sebagai alat
strategi usaha dimana karena suatu penemuan dikomersialkan atau kekayaan
intelektual, memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi
ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut
memungkinkan pencipta karya intelektual untuk terus berkarya dan meningkatkan
mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan
timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik
sehingga timbul kompetisi.
SEJARAH HAKI DI INDONESIA
Zaman
Penjajahan Belanda
Secara
historis, peraturan perundang-undangan di bidang HAKI di Indonesia telah ada
sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang
pertama mengenai perlindungan HAKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah
Belanda mengundangkan Undang-Undang Merek tahun 1885, Undang-Undang Paten tahun
1910, dan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu
masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention
for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid
Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for
the Protection of Literaty and Artistic Works sejak tahun 1914.
Zaman
Penjajahan Jepang
Pada
jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan
perundang-undangan di bidang HAKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan
perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Merek
tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan Undang-Undang Paten yang
dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undang Paten peninggalan Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di
Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas
permohonan Paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda
Zaman
Kemerdekaan
Pada
tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan
perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang Paten, yaitu
Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan
sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No.
J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar
negeri.
Pada
tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan Undang-Undang No.21 tahun
1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti
Undang-Undang Merek Kolonial Belanda. Undang-Undang No 21 Tahun 1961 mulai
berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan Undang-Undang Merek ini untuk
melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.
Zaman
Orde Baru
Tanggal
10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Paris Convention for the
Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967) berdasarkan
Keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi
Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi)
terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat
1.
Pada
tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan Undang-Undang No.6 tahun 1982
tentang Hak Cipta untuk menggantikan Undang-Undang Hak Cipta peninggalan
Belanda. Pengesahan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk
mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang
karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan
bangsa.
Tahun
1986 dapat disebut sebagai awal era moderen sistem HAKI di tanah air. Pada
tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HAKI
melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas
utama Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HAKI,
perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HAKI dan sosialisasi sistem
HAKI di kalangan intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan
masyarakat luas.
19
September 1987 Pemerintah RI mengesahkan Undang-Undang No.7 Tahun 1987 sebagai
perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Tahun
1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32 ditetapkan pembentukan Direktorat
Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan
tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit Eselon II
di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen
Kehakiman.
Pada
tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten
yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 oleh Presiden
RI pada tanggal 1 November 1989. Undang-Undang Paten 1989 mulai berlaku tanggal
1 Agustus 1991.
Tanggal
28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992
tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang
Merek tahun 1961.
Pada
tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the
Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan
TRIPS).
Tahun
1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang
HAKI, yaitu Undang-Undang Hak Cipta 1987 jo. Undang-Undang No. 6 tahun 1982,
Undang-Undang Paten 1989 dan Undang-Undang Merek 1992.
Zaman
Reformasi
Akhir
tahun 2000, disahkan tiga Undang-Undang baru dibidang HAKI yaitu :
1. Undang-Undang
No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang,
2. Undang-Undang
No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan
3. Undang-Undang
No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Untuk
menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No
14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No 15 tahun 2001 tentang Merek,
Kedua Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang yang lama di bidang terkait.
Pada
pertengahan tahun 2002, disahkan Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta yang menggantikan Undang-Undang yang lama dan berlaku efektif satu tahun
sejak di undangkannya.
Pada
tahun 2000 pula disahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perlindungan
Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun 2004.
SUMBER :